Minggu, 05 Juli 2015

Pidato Rektor pada Wisuda Magister, Profesi, dan Sarjana Undana Periode II pada Sabtu, 27 Juni 2015

Yth. Gubernur NTT yang diwakili oleh Staf Ahli Gubernur Bidang Politik dan Pemerintahan;
Yth. Danrem 161 Wirasatya yang diwakili oleh Pasi Intel Korem 161 Wirasatya;
Yth. Danlanud El Tari yang diwakili oleh Kasi BMN Logistik Lanud El Tari;
Yth. Kapolda NTT yang diwakili oleh Kasubdit Bimtimlu Ditbimas Polda NTT;
Yth. Ketua Pengadilan Tinggi Kupang yang diwakili oleh Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Kupang;
Yth. Ketua dan Wakil Ketua II Dharma Wanita Persatuan Undana;
Yth. Kedua Badan Narkotika Nasional Provinsi NTT;
Yth. Ketua APU Undana;
Yth. Perwakilan Bank mitra kerjasama;
Yth. Para orang tua/wali wisudawan/wisudawati;
Para wisudawan/wisudawati yang berbahagia.

Selamat pagi, assalamualaikum wr. wb., om swastiastu,
Wisuda merupakan saat yang membahagiakan bagi wisudawan/wisudawati dan tentu saja juga bagi para orang tua/wali dan para pendidik. Setelah melalui proses pendidikan yang panjang penuh dengan suka dan duka, hari ini para wisudawan/wisudawati hadir di sini untuk mengikuti Wisuda Periode II 2015. Sampai dengan wisuda kali ini, Undana telah menghasilkan 48.899 wisudawan/wisudawati, yang terdiri atas 973 magister, 42 profesi, dan 48.065 sarjana. Di antara para wisudawan/wisudawati terdapat 1.496 sarjana lulusan program afirmasi Sarjana Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan (SKGJ).

Hadirin yang saya muliakan,
Pada prosesi wisuda periode yang lalu, saya telah mengatakan bahwa dunia pendidikan tinggi harus terus mendorong upaya penguatan unsur kebudayaan nasional sebagai bagian dari struktur nilai kemanusian yang bersifat universal. Komitmen ini harus terus disuarakan, sekalipun secara struktur politik, kita telah terpisah dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.  Jika kita mengabaikan komponen kebudayaan nasional, khususnya karakter kebangsaan, maka dunia pendidikan tinggi sesungguhnya tidak membebaskan, tetapi malah membelenggu anak didik.  Pendidikan hanya akan menggiring anak didik ke dalam jebakan “mesin efisiensi global” dengan tujuan akhir “profit”, berorientasi pragmatis, kehilangan identitas kemanusiaan dengan berdiri sebagai warga global yang miskin akan nilai-nilai karakter kebangsaan dan kemanusiaan.

Pendidikan seharusnya memanusiakan manusia, bukan hanya menjadikan manusia sebagai sumberdaya. Untuk memanusiakan manusia diperlukan pendidikan yang membebaskan dari ketertindasan, bukan justeru menindas untuk menjadikan manusia sekedar mempunyai kompetensi keilmuan dan keterampilan untuk dipasarkan sebagai sumberdaya manusia (human resources). Sebagaimana dikatakan oleh Bapak Pendidikan Pembebasan Paulo Friere:
There is no such thing as a neutral education process. Education either functions as an instrument which is used to facilitate the integration of generations into the logic of the present system and bring about conformity to it, or it becomes the 'practice of freedom', the means by which men and women deal critically with reality and discover how to participate in the transformation of their world.
Adalah seharusnya menjadi tugas kita untuk menjadikan pendidikan sebagai ‘the practice of freedom’, pendidikan untuk membebaskan manusia. Tetapi dengan sistem yang dikembangkan sekarang, pendidikan justru didorong sekedar untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang berkompetensi akademik dan berketerampilan “to facilitate the integration of generations into the logic of the present system”, dan kehilangan jati diri kemanusiannya.

Muatan pendidikan karakter –humanities and art– cenderung dimarginalkan dalam struktur kurikulum pada sekolah dasar dan menengah bahkan lebih-lebih lagi pada struktur kurikulum pendidikan tinggi. Muatan pendidikan karakter tersebut cenderung dipandang oleh pembuat kebijakan sebagai hiasan yang kurang bermanfaat (useless frills), tidak bermanfaat dalam upaya untuk bertahan pada pasar global yang sangat kompetitif, dalam mendesign suatu generasi masa depan yang unggul. Muatan-muatan seperti ini seperti hilang dalam struktur kurikulum dunia pendidikan kita, dihapus dalam pemikiran dan bahkan (perasaan) hati para orang tua dan anak-anak.

Pendidikan yang memarginalkan pembangunan karakter tersebut tampak sangat jelas dari penempatan pendidikan karakter sekedar sebagai softskill, sebagai “keterampilan lunak” yang capaiannya diukur sekedar sebagai bagian dari capaian kompetensi akademik. Pendidikan yang hanya mengejar kompetensi akademik dan keterampilan, tanpa diimbangi dengan pembangunan karakter, cepat atau lambat akan menghilangkan sisi kemanusian dari manusia, mendorong anak didik dan pendidik untuk mengalami dehumanisasi. Pendidikan seperti ini telah kehilangan perannya sebagai apa yang Paulo Friere sebut “conscientization”, kesadaran untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan manusia secara sadar ("consciousness raising" and "critical consciousness").

Hadirin yang saya hormati,
Perkembangan dan kemajuan global saat ini menghadapi ancaman krisis dalam jangka panjang yang sangat berdampak terhadap masa depan demokrasi,  dan pemerintahan itu sendiri.  Bukan krisis ekonomi yang dampaknya telah dirasakan dan banyak pemerintah telah mengantisipasi strategi penanganannya, tapi  krisis yang saya maksudkan adalah krisis pendidikan yang sangat meluas. Perubahan radikal yang saya maksudkan adalah perubahan sistem pendidikan menjadi sistem yang lebih mengutamakan tujuan pencapaian profit dan manfaat ekonomi dalam bentuk sistem pendidikan nasional yang mendewakan aspek kompetensi akademik dan keterampilan penguasaan teknonlogi.

Padahal, bahkan ahli ekonomi yang menjunjung tinggi orientasi efisiensi dan tujuan pencapaian profit seperti John Stuart Mill (1967), memberikan pujian terhadap sistem pendidikan tinggi yang memberikan ruang dan kebebasan secara luas bagi pembangunan. Pemimpin spiritual Tibet, Dalai Lama, mengatakan bahwa ia berharap suatu hari nanti, dunia pendidikan akan memberikan ruang terhadap apa yang disebutnya sebagai “education of the heart”. Ia berharap pada waktunya nanti ada ruang di mana kita dapat menjamin bahwa anak-anak kita belajar-sebagai bagian dari kurikulum sekolah, nilai utama dari belas-kasihan, kepedulian, keadilan dan pengampunan (The Wisdom of Compassion, 2015).

Institusi pendidikan, mulai dari tingkat sekolah dasar sampai pada perguruan tinggi, seharusnya menciptakan atmosfer proses belajar mengajar yang membebaskan anak didik dari tekanan dan keterbelengguan.  Tekanan dan keterbelengguan karena struktur kurikulum yang sangat memberatkan, karena tuntutan uniformity, karena tuntutan target material satuan pelajaran, karena tuntutan tingginya beban tugas akhir dan sebagainya. Dunia pendidikan formal seharusnya dikembangkan ke arah di mana anak didik merasakan sekolah sebagai “rumah” kedua. Jangan heran, karena sistem pendidikan yang membelengu, di sejumlah kota besar telah banyak berkembang sistem pendidikan alternatif berupa “home schooling” bagi kelompok anak yang berasal dari keluarga yang mapan secara ekonomi. Selain itu juga berkembang sistem pendidikan non-formal yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat bagi anak-anak jalanan dan keluarga kurang mampu.

Semuanya ini terjadi karena masyarakat sesungguhnya membutuhkan suatu sistem pendidikan yang membebaskan, suatu sistem pendidikan yang lebih memanusiakan manusia. Suatu sistem pendidikan yang bisa membebaskan generasi muda dari kebodohan dan keterbelakangan, tapi pada saat yang sama juga membebaskan mereka dari tekanan dan keterbelengguan karena sistem pendidikan itu sendiri. Bahkan Milton Friedman pun pernah mengatakan:
A society that puts equality before freedom will get neither. But, a society that puts freedom before equality will get a high degree of both.
Dalam kaitan dengan hal ini, kita juga perlu mengkritisi Standard Nasional Pendidikan Tinggi 2014 dengan cengkraman beban SKS dan target penyelesaian tugas akhir termasuk publikasi journal ilmiah nasional/internasional yang terkesan dipaksa untuk dilaksanakan pada saat infrastruktur yang memungkinkan pencapaian standar dimaksud masih jauh dari kata “ideal”. Mahasiswa dipaksa untuk menanggung beban kegagalan sistem pendidikan tinggi yang selama ini ternyata kurang berhasil mendorong indeks sitasi internasional (international citation index) sehingga kita menjasi jauh tertinggal dari negara tetangga serumpun yang dahulu pernah mendatangkan guru dan dosen dari Indonesia.

Hadirin yang mulia,
Kebijakan nasional mengenai pendidikan formal, suka atau tidak, didesain dengan sejumlah kepentingan politik.  Kita boleh mencatat bahwa kebijakan nasional tentang pendidikan begitu mudah mengalami perubahan arah dan orientasi jangka panjang begitu terjadi perubahan politik di tingkat nasional. Cato Institute (2012), pada laman websitenya www.cato.org/eucation-wiki menyebutkan:
When government provides the schooling, questions of curriculum, pedagogy, morality are decided through the zero-sum political system. Since the system creates winners and losers, government too often pits citizens against each other.
Padahal sebelumnya kita sudah banyak berdiskusi panjang –menghabiskan waktu, tenaga, pikiran bahkan finansial– untuk mendesain pengembangan pendidikan nasional 25 tahun ke depan. Kebijakan pendidikan yang diwarnai kepentingan politik, yang menciptakan winners and losers, tentu saja tidak bisa membebaskan, tidak bisa menciptakan proses pembelajaran yang bisa membangun kesadaran untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan manusia secara sadar ("consciousness raising" and "critical consciousness")

Kebijakan pengembangan sistem pendidikan semacam ini mendorong orang untuk mengejar gelar akademik tanpa mempedulikan bagaimana gelar akademik itu diperoleh, alih-alih mempedulikan pembelajaran yang seharusnya menjadi jadi diri sebuah gelar akademik. Gelar akademik dipandang lebih sebagai titik akhir, bukan sebagai tonggak-tonggak antara dalam proses panjang pembelajaran. Oleh karena itu kita tidak perlu heran melihat orang mencantumkan gelar akademik berderet-deret. Kebutuhan untuk mencantumkan gelar berderet-deret seperti itulah, bukannya kebutuhan untuk membangun “conscientization”, yang pada akhirnya mendorong maraknya gelar akademik ilegal. Kita menjadi manusia yang merasa terdidik karena gelar akademik, bukannya gelar akademik menjadikan kita lebih terdidik (dan tahu diri). Pendidikan seperti ini menggiring orang menjadi merasa tahu dan menggunakan perasaan tahu itu sebagai ajang meraih kekuasaan yang mendominasi sekitarnya, bukan menerangi sekitarnya.

Karya akademik pun menjadi sekedar barang dagangan. Orang dapat memesan skripsi, tesis, dan bahkan disertasi. Orang mengejar publikasi internasional dengan membayar jasa penerjemah supaya bisa merasa berkualitas global tanpa perlu belajar bahasa internasional. Jasa penerbitan memanfaatkan ‘kebutuhan’ ini sebagai peluang pasar. Apakah nanti ada yang membaca apa yang diterbitkan, tidak lagi menjadi begitu penting. Sejauh mana penelitian dan publikasi yang dihasilkan bisa memanusiakan masyarakat, tidak lagi menjadi penting. Karena itu jangan tanyakan, sejauh mana penelitian dan publikasinya telah dapat membantu masyarakat mengatasi deraan berbagai persoalan.

Hadirin yang berbahagia,
Tentu saja kita tidak boleh menyerah. Karena bila kecenderungan ini kita biarkan terus terjadi maka kita sebenarnya sedang meragakan apa yang diprediksikan dengan sangat mengerikan oleh Rabindranath Tagore bahwa kita sedang memproduksi suatu generasi seperti mesin yang handal, dari pada sebagai warga bangsa yang mempunyai kemampuan berpikir bagi mereka sendiri serta memahami secara signifikan persoalan orang lain serta pencapaiannya. Kita tidak boleh membiarkan terjadi apa yang dikatakan oleh Martha Nussbaum (2011):
History has come to a stage when the moral man, the complete man, is more and more giving way, to make room for the ... commercial man, the man of limited purpose. This process, aided by the wonderful progress in science...causing the upset of man's moral balance...
Untuk itu kita tidak boleh hanya bisa menunggu sampai terjadinya perubahan kebijakan. Kita perlu melakukan perubahan di tengah-tengah sistem pendidikan yang membelenggu, yang “opressing”, sekecil apapun yang kita bisa lakukan. Di tengah-tengah cengkeraman beban SKS dan target penyelesaian tugas akhir kita coba tetap memberikan ruang terhadap pembinaan kegiatan kemahasiswaan sebagai ajang pendidikan karakter. Kita sikapi kewajiban publikasi internasional dengan menjalin kerjasama dengan universitas luar negeri untuk bersama-sama menghasilkan publikasi internasional. Kita jalin kerjasama kemitraan dengan universitas yang lebih berpengalaman untuk bisa saling bertukar pikiran mengenai upaya meningkatkan kualitas penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Apabila ini semua bisa kita lakukan bersama-sama, saya yakin kita bisa melakukan perubahan itu.

Hadirin yang saya hormati,
Dalam kesempatan yang baik dan bermartabat ini, perkenankan saya menyampaikan permohonan maaf kepada para wisudawan/wisudawati dan para orang tua/wali jika sekiranya selama menjalani proses pendidikan di Undana, wisudawan/wisudawati menngalami hal-hal yang kurang memuaskan sebagai akibat dari keterbatasan dan kekhilafan kami. Akhirnya, pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankan saya menyampaikan selamat kepada wisudawan/wisudawati, orang tua/wali, dan keluarga, semoga Tuhan kiranya berkenan menuntun wisudawan/wisudawati sekalian dalam memasuki medan perjuangan selanjutnya. Terima kasih.

Syalom, wassalamualaikum wr. wb., om santi, santi, santi, om.

Kupang, 27 Juni 2015
Rektor,
Prof. Ir. Fredrik Lukas Benu, MSi., PhD.


0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites