Minggu, 20 Juli 2014

Penjelasan atas Jawaban terhadap Pertanyaan Asesor AIPT mengenai Pola Ilmiah Pokok Semiringkai Kepulauan

Pada saat pertemuan dengan pimpinan universitas pada 18 Juli 2014, asesor AIPT (Akreditasi Institusi Perguruan Tinggi) Prof. Bambang Purwoko meminta penjelasan atas istilah semiringkai pada pola ilmiah pokok semiringkai kepulauan. Rektor Prof. Fred Benu meminta kepada PR IV untuk memberikan penjelasan mengenai istilah tersebut dan sekaligus penjelasan mengapa Undana menetapan semiringkai kepulauan sebagai pola ilmiah pokok. Pertanyaan mengenai istilah tersebut diminta oleh asesor karena dokumen borang akreditasi memang kurang memberikan penjelasan mengenai apa itu semiringkai dan mengapa pola ilmiah pokok Undana adalah semiringkai kepulauan. Karena waktu yang tersedia terbatas, pada waktu itu PR IV memberikan penjelasan yang singkat. Tulisan ini merupakan elaborasi terhadap penjelasan singkat tersebut yang didasarkan atas buku Revisitasi Lahan Kering dan sumber-sumber lain.

Kata semiringkai terdiri atas kata dasar 'ringkai' yang memperoleh awalan 'semi-'. Menurut KBBI dalam jaringan (online), kata dasar ringkai berarti kering sekali. Kata dasar 'ringkai' ini digunakan sebagai terjemahan kada dasar 'arid' dalam bahasa Inggris. Kata dasar 'arid' dalam bahasa Inggris mempunyai dua makna: (1) berkaitan dengan lahan dan iklim berarti mendapat hujan sangat sedikit, terlalu kering untuk mendukung pertumbuhan vegetasi dan (2) berkaitan dengan perilaku dan penampilan berarti kurang mempunyai daya tarik, kegairahan, atau makna. Awalan 'semi-' merupakan awalan bahasa Inggris yang bermakna sebagian, setengah, atau mendekati. Dengan demikian, berkaitan dengan pola ilmiah pokok Undana, kata 'semiringkai' berarti secara harfiah keadaan lahan atau iklim yang mendekati sangat kering sehingga agak kurang dapat mendukung pertumbuhan vegetasi. Pertanyaan selanjutnya adalah keadaan lahan atau iklim yang mendekati kering itu sebenarnya seperti apa? Kurang dapat mendukung pertumbuhan vegetasi itu sebenarnya maksudnya apa?

Istilah 'semiringkai' sebagai pola ilmiah pokok Undana sebenarnya berkaitan dengan lingkungan hidup. Mengingat lingkungan hidup mencakup dimensi fisik-kimia, hayati, sosial-ekonomi-politik, sosial-budaya, dan kesehatan masyarakat maka mendefinisikan apa itsebenarnya lingkungan semiringkai merupakan tugas yang tidak sederhana. Oleh karena itu, sebagai dasar, FAO (1989) menggunakan dimensi fisik sebagai indikator utama, yaitu keringkaian (aridity). Secara fisik, keringkaian didefinisikan sebagai nisbah (ratio) antara presipitasi (hujan maupun salju, dilambangkan P) dan evapotranspirasi potensial (ETP) yang diukur dengan menggunakan metode Penman dengan memperhatikan kelembaban udara, radiasi matahari, dan angin. Nisbah P/ETP = 0-0,03 dikategorikan sebagai superringkai, 0,03-0,20 dikategorikan ringkai atau gurun, dan 0,20-0,50 dikategorikan semiringkai. Tapi keringkaian hanyalah sebuah indeks, masih terdapat banyak aspek lain yang menentukan apakah suatu kawasan merupakan kawasan semiringkai atau bukan, antara lain tipe vegetasi savana, sistem budidaya pertanian tebas-bakar, sistem pemeliharaan ternak dengan cara lepas, dan sebagainya.

Lalu mengapa Undana menetapkan semiringkai kepulauan sebagai pola ilmiah pokok? Mengapa bukan lahan kering atau bahkan pertanian lahan kering seperti sebelumnya? Kawasan semiringkai dunia sebagian besar berada di wilayah kontinental. Kawasan Nusa Tenggara dan Maluku bagian Selatan merupakan satu-satunya kawasan semiringkai yang merupakan kepulauan. Kondisi semiringkai kawasan Nusa Tenggara dan Maluku bagian Selatan dimungkinkan karena:

  • Berada dekat dengan benua Australia yang kering yang menjadi asal angin tenggara yang kering pada bulan-bulan Mei-Oktober. Kedekatan dengan benua tersebut menyebabkan kawasan Nusa Tenggara dan Maluku bagian Selatan mendapat pengaruh yang paling kuat dari kekeringan benua Australia.
  • Kawasan Nusa Tenggara dan Maluku merupakan kepulauan dengan deretan pulau-pulau yang membentang dari Barat ke Timur sehingga pulau-pulau di sebelah Timur menerima bayang-bayang hujan dari pulau di sebelah Barat.

Namun demikian, kedua kondisi di atas tidak berlaku sama terhadap semua wilayah Nusa Tenggara dan Maluku Selatan. Bagian-bagian tertentu dari pulau-pulau tertentu memperoleh curah hujan cukup tinggi karena tidak berada pada bayang-bayang hujan atau memperoleh hujan dari angin Tenggara. Misalnya Sumba bagian Selatan yang tidak berada dalam bayang-bayang hujan memperoleh hujan tinggi selama musim hujan, sedangkan wilayah pesisir Selatan Pulau Flores bagian Barat memperoleh hujan pada musim kemarau.

Derajat keringkaian sebagaimana ditunjukkan oleh nisbah P/EPT menentukan keadaan vegetasi suatu wilayah dan juga jenis tanaman yang dapat dibudidayakan tanpa bergantung pada irigasi. Pada umumnya, vegetasi di wilayah kepulauan Nusa Tenggara dan Maluku bagian Selatan merupakan vegetasi hutan kering dataran rendah maupun dataran tinggi, kecuali di bagian-bagian yang menerima curah hujan lebih tinggi atau di wilayah pegunungan. Vegetasi di wilayah Nusa Tenggara Timur didominasi oleh savana dengan jenis-jenis pohon gugur daun tumbuh jarang atau mengelompok pada titik-titik tertentu. Oleh karena kondisi iklim yang kering tersebut, budidaya tanaman semusim pada umumnya hanya dapat dilakukan selama musim hujan dan budidaya tanaman tahunan dilakukan dengan menggunakan jenis-jenis tanaman yang tahan kekeringan. Budidaya tanaman semusim pada umumnya dilakukan dengan menggunakan sistem perladangan, sedangkan budidaya tanaman tahunan dengan sistem perkebunan rakyat. Sementara itu, peternakan rakyat dilakukan dengan pola peternakan lepas sehingga untuk mencegah ternak merusakkan tanaman maka kawasan budidaya pertanian perlu dipagari keliling.

Sistem pertanian yang berbasis pada sistem perladangan dan perkebunan rakyat serta peternakan lepas pada gilirannya akan menentukan budaya masyarakat. Budaya tolong menolong sangat kuat karena sangat diperlukan untuk menghadapi ancaman kekeringan yang sering melanda kawasan. Budaya tolong menolong tersebut pada gilirannya terinstitusionalisasi dalam berbagai ritual adat. Selain itu, ancaman kondisi lingkungan yang keras mendorong terbangunnya ikatan kekerabatan yang sangat kuat. Pola hubungan sosial cenderung lebih didominasi oleh bonding ties dalam kerabat atau kelompok dan linking ties dengan para pemuka adat, daripada oleh bridging ties dengan masyarakat luar. Namun demikian bukan berarti bahwa masyarakat tertutup terhadap pengaruh dari luar. Melainkan, mereka pada umumnya terbuka. Hanya saja, pihak luar diterima sebatas sebagai outsiders sampai dapat memenuhi sejumlah ketentuan adat yang memungkinkan mereka menjadi orang dalam.

PIP yang pada mulanya ditetapkan adalah pertanian lahan kering. Penetapan PIP Pertanian Lahan Kering dilakukan seiring dengan pendirian Fakultas Pertanian pada awal 1980-an. Mengingat Undana terdiri atas banyak fakultas, PIP Pertanian Lahan Kering tersebut banyak menghadapi penolakan dari kalangan di luar Fakultas Pertanian. Menyadari kenyataan tersebut, PIP kemudian diubah menjadi pengembangan lahan kering. Namun lahan kering sebenarnya terdapat bukan hanya di wilayah Nusa Tenggara Timur, tetapi juga di sebagian besar wilayah Indonesia. Atas dasar itu kemudian PIP diubah menjadi pengelolaan kawasan semiringkai kepulauan. Dalam beberapa waktu terakhir ditambahkan kepariwisataan, untuk menangkap peluang pada sektor kepariwisataan. Dengan demikian, PIP Undana saat ini adalah pengelolaan kawasan semiringkai kepulauan plus kepariwisataan atau sering disingkat menjadi semiringkai kepulauan plus.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites