Gerbang Kampus

Selamat datang di kampus Universitas Nusa Cendana, Kampus Baru, Jl. Adisucipto, Penfui, Kupang, NTT.

Rektorat Undana

Gedung Rektorat Undana tempat rektor, para pembantu rektor, para kepala biro dan jajarannya berkantor.

Kehidupan Kampus

Kampus Undana menyediakan fasilitas untuk mendorong mahasiswa aktif berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan kampus.

Praktikum Laboratorium

Undana menyelenggarakan pendidikan akademik dan pendidikan vokasi yang didukung dengan fasilitas memadai, di antaranya laboratorium.

Wisuda Sarjana dan Pascasarjana

Setiap tahun Undana mewisuda lulusan sarjana dan pascasarjana dari berbagai bidang ilmu dan pendidikan profesi.

Selasa, 07 Juli 2015

Membangun Kerjasama Pembimbingan Bersama Mahasiswa Program Doktor dengan Universitas di Australia

Di bawah kepemimpinan Rektor Prof. Fred Benu, Undana berusaha untuk menggalang kerjasama pembimbingan bersama mahasiswa program doktor dengan beberapa universitas di Australia. Menurut Rektor, kerjasama tersebut diperlukan untuk membantu mahasiswa dapat memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah untuk menyelesaikan pendidikan program doktor. Di antaranya, persyaratan yang dirasakan sangat memberatkan adalah persyaratan publikasi pada jurnal ilmiah internasional. Persyaratan tersebut memberatkan bukan hanya bagi kalangan mahasiswa, tetapi juga bagi kalangan promotor dan kopromotor, bahkan juga bagi pimpinan Pascasarjana yang mengelola program doktor di lingkungan Undana. Untuk membantu mengatasi kesulitan tersebut, Rektor menugaskan Pembantu Rektor IV Bidang Kerjasama dan Alumni untuk menggalang kerjasama dengan universitas di Australia.

Sebagai bagian dari upaya yang dilakukan oleh PR IV Undana, telah hadir di Undana Direktur Research Institute for the Environment and Livelihoods (RIEL), Charles Darwin University (CDU), Prof. Andrew Campbell. Dari diskusi panjang dengan Prof. Andrew Cambell dapat disimpulkan bahwa RIEL pada dasarnya siap membantu. Hanya saja, untuk maksud tersebut RIEL mempersyaratkan bahwa untuk dapat memperoleh promotor atau kopromotor dari RIEL, mahasiswa program doktor Pascasarjana Undana harus dapat memenuhi persyaratan kemampuan Bahasa Inggris yang ditetapkan oleh CDU. Persyaratan ini tentu sangat sulit dapat dipenuhi mengingat ketika diterima menjadi mahasiswa program doktor di Pascasarjana Undana, calon mahasiswa program doktor yang mendaftar tidak dipersyaratkan untuk mempunyai kemampuan Bahasa Inggris sebagaimana dipersyaratkan. Bukan hanya itu, tidak semua dosen Undana yang telah ditetapkan sebagai promotor maupun kopromotor menguasai Bahasa Inggris secara aktif sehingga bisa berdiskusi dengan rekan dari RIEL yang akan ditunjuk sebagai promotor atau kopromotor.

Pihak CDU yang juga hadir di Undana sebagai bagian dari upaya PR IV untuk membantu Pascasarjana Undana adalah Prof. Ruth Wallace, Directur The Northern Institute, CDU. The Northern Institute, merupakan lembaga penelitian lintas bidang ilmu yang mendapat mandat pengembangan kawasan Utara Australia. Setelah mewawancarai beberapa mahasiswa program doktor Undana, Prof Ruth Walace menyetujui untuk menjadi promotor atau kopromotor tanpa menyebutkan bahwa mahasiswa harus memenuhi persyaratan kemampuan Bahasa Inggris yang ditetapkan oleh CDU. Hanya saja, Prof. Ruth Wallace, dalam bincang-bincang dengan PR IV setelah selesai melakukan wawancara, menyatakan bahwa akan sangat membantu bila mahasiswa mampu berbahasa Inggris secara aktif. Sebab, menurut Prof Ruth Wallace, kemampuan bahasa Inggris akan membantu mahasiswa dapat meningkatkan wawasan ilmiah mereka sehingga mampu menyusun proposal penelitian yang layak disebut sebagai proposal penelitian disertasi. Dengan kemampuan Bahasa Inggris yang memadai, menurut beliau, mahasiswa dapat membaca disertasi dari berbagai universitas Australia yang dapat diakses secara gratis, sehingga dapat membedakan disertasi dari tesis dan dari skripsi.

Pihak universitas Australia yang juga telah hadir sebagai bagian dari upaya untuk membantu mahasiswa program doktor Pascasarjana Undana adalah Dr. Rao Rachaputi, senior research fellow Centre for Plant Science (CPS), Queensland Alliance for Agriculture and Food Inovation (QAAFI), The University of Queensland. Selain menyampaikan persyaratan kemampuan Bahasa Inggris, Dr. Rao Rachaputi juga menyampaikan, terutama berkaitan dengan unit yang akan melaksanakan implementasi di antara kedua universitas. Dr. Rao Rachaputi menyatakan bahwa di UQ dan universitas-universitas lainnya di Australia, mahasiswa program doktor berafiliasi dengan lembaga penelitian dalam proses pembimbingan penelitian disertasi. Universitas-universitas di Australia pada umumnya tidak mempunyai program khusus Pascasarjana karena mahasiswa program master dan program doktor berafiliasi dengan sekolah (school) atau jurusan (department) hanya dalam kaitan dengan pelaksanaan perkuliahan, sedangkan untuk penelitian, berafiliasi dengan lembaga penelitian sebagaimana di UQ berafiliasi dengan pusat-pusat di lingkungan QAAFI.

Dr. Rao Rachaputi menambahkan bahwa ketika menerima seseorang menjadi mahasiswa program doktor, universitas seharusnya sudah memastikan siapa yang menjadi promotor sehingga dengan demikian mahasiswa langsung berafiliasi ke lembaga penelitian afiliasi promotor yang ditetapkan. Mahasiswa juga dapat memperoleh bantuan dana penelitian karena dosen yang dapat menerima mahasiswa program doktor hanya dosen yang mempunyai proyek penelitian yang dapat mendanai penelitian mahasiswa yang akan dibimbingnya. Berkaitan dengan penjelasan yang disampaikan oleh Dr. Rao Rachaputi tersebut, implementasi kerjasama dilakukan oleh lembaga di universitas di Australia, misalnya QAAFI di UQ, dengan lembaga yang kira-kira mempunyai tugas pokok dan fungsi yang serupa di Undana, sehingga memungkinkan untuk mengembangkan program penelitian bersama untuk mendanai penelitian mahasiswa yang akan dibimbing bersama. Kewenangan untuk pengembangan program penelitian bersama tersebut tentu saja tidak dimiliki oleh Pascasarjana, melainkan oleh Lembaga Penelitian yang, sesuai dengan ketentuan di Indonesia, tidak mempunyai mahasiswa.

Dari pembicaraan dengan ketiga perwakilan universitas Australia di atas tersirat bahwa Undana, khususnya Pascasarjana, perlu melakukan persiapan lebih matang dalam membangun kerjasama dengan universitas luar negeri. Persiapan tersebut diperlukan untuk mengatasi kendala yang dihadapi dalam menggalang kerjasama dengan pihak luar negeri. Selain kemampuan bahasa Inggris yang selama ini menjadi kendala yang sangat dominan, juga timbul kendala dalam kaitan dengan tugas pokok dan fungsi institusi di mana mahasiswa program doktor berafiliasi. Kendala lainnya adalah panduan penyelenggaraan program, panduan penulisan disertasi, dan panduan etika penelitian yang harus disiapkan dwibahasa, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Belum lagi soal panduan mengenai pemrosesan dan pengeluaran persetujuan etik (ethical clearance), yang wajib dilalui oleh mahasiswa program doktor dalam melaksanakan penelitian disertasi. Sesuai dengan bidang penelitiannya, mahasiswa bisa memerlukan persetujuan etik penelitian medis (medical ethics clearance), persetujuan etik penelitian hewan (animal ethics clearance), dan persetujuan etik penelitian masyarakat (human ethics clearance). Pertanyaannya, unit mana yang mengelola dan mengeluarkan persetujuan etik tersebut? Untuk penelitian yang melibatkan masyarakat, bagaimana format aplikasi untuk memperolehnya, contoh pernyataan kesediaan berpasridipasi (consent form), contoh penyampaian informasi (information form) kepada partisipan, dsb.

Panduan penyelengaraan program dan panduan penulisan disertasi diperlukan sebagai jaminan kualitas (quality assurance) terhadap proses dan keluaran program doktor yang diselenggarakan Pascasarjana. Misalnya saja, apakah orang yang mendaftar sebagai mahasiswa program doktor cukup hanya menlengkapi persyaratan administrasi sebagaimana halnya mendaftar untuk menjadi mahasiswa program sarjana atau harus menyertakan proposal penelitian disertasi sebagaimana lazim di kalangan universitas luar negeri. Juga apakah orang yang mendaftar harus memperoleh calon promotor terlebih dahulu atau calon promotor dialokasikan setelah mahasiswa memprogramkan disertasi, seperti ketika seorang mahasiwa program sarjana memprogramkan skripsi. Lalu bagaimana dengan kriteria agar sebuah karya ilmiah layak disebut sebuah disertasi sebagaimana di negara-negara lain sehingga bisa dipublikasikan di jurnal ilmiah internasional, sebagaimana yang dipersyaratkan oleh pemerintah.

Juga tidak kalah penting adalah rambu-rambu batas bidang ilmu, kapan sebuah karya ilmiah dapat dikategorikan sebagai karya ilmiah bidang ilmu murni yang bebas nilai dan bidang ilmu terapan yang tidak bebas nilai. Jangan sampai terjadi, mahasiswa biologi membuat tesis atau disertasi mengenai hama atau penyakit tanaman sebab mahluk hidup dikategorikan sebagai hama atau penyebab penyakit berdasarkan nilai yang diberikan oleh manusia dengan merujuk kepada terapan dalam bidang pertanian. Jangan sampai ada mahasiswa ilmu kebumian meneliti mengenai kesuburan tanah sebab tanah dikategorikan sebagai subur atau tidak subur berdasarkan nilai yang diberikan oleh manusia untuk kepentingan terapan bidang pertanian. Bukan hanya itu, rambu-rambu juga perlu ditegakkan untuk ilmu antar bidang seperti ilmu lingkungan. Bidang yang dikaji dalam ilmu lingkungan memang bisa bermacam-macam, tetapi ilmu lingkungan mempunyai metodologi khusus sebagai rambu-rambu pembatas dengan bidang ilmu lain. Dengan begitu maka ilmu lingkungan tidak harus dijadikan ilmu gado-gado, apa saja boleh dan siapa saja boleh mengajar dan membimbing asalkan mempunyai gelar akademik doktor dan jabatan akademik profesor.

Ketika menyampaikan pidato wisuda pada acara wisuda periode kedua tahun 2015 Rektor menggarisbawahi perlunya penyiapan sarana dan prasarana yang memadai sebelum menetapkan persyaratan berat bagi mahasiswa untuk menyelesaikan program pendidikan tertentu. Sebelum mewajibkan mahasiswa program doktor untuk melakukan publikasi internasional seharusnya terlebih dahulu dipersiapkan kemampuan bahasa Inggris mahasiswa program doktor. Bukan hanya itu, kualifikasi dosen yang boleh menjadi promotor dan kopromotor perlu diimbangi dengan kemampuan Bahasa Inggris dan kemampuan publikasi internasional, bukan hanya sekedar pendidikan doktor atau jabatan akademik profesor. Tetapi bahwa kewajiban tersebut dikeluarkan karena alasan bahwa kemampuan publikasi internasional Indonesia jauh di bawah kemampuan negara tetangga maka beban kewajiban itu seharusnya ditimpakan bukan kepada mahasiswa. Melainkan, kewajiban itu seharusnya ditimpakan kepada para doktor dan profesor yang karena gelar dan jabatan akademiknya berwenang menghitamputihkan proses pendidikan program doktor di negeri ini.

Memang tidak mudah membangun kerjasama dengan universitas luar yang tradisi akademiknya berbeda. Tetapi itu bukan tidak mungkin bisa dilakukan. Asalkan semua pihak berkomitmen untuk membenahi diri. Pascasarjana Undana tentu saja mempunyai komitmen itu, komitmen untuk senantiasa berusaha berbenah agar bisa menjadi lebih baik secara akademik. Untuk itu Pascasarjana Undana perlu segera metetapkan rambu-rambu pembimbiungan, panduan penyelenggaraan program, panduan penulisan tesis dan disertasi, panduan ijin etik, dan hal-hal dasar lain yang diperlukan untuk memungkinkan kerjasama dapat diteruskan. Kalau sudah ada dalam Bahasa Indonesia maka yang mendesak untuk dilakukan adalah membuat terjemahan resminya dalam Bahasa Inggris. Pascasarjana Undana tentu saja akan melakukan itu. Bukan saja karena itu untuk kepentingan membangun kerjasama dengan pihak luar, melainkan untuk meningkatkan pelayanan kepada mahasiswa yang telah memilih kuliah di Pascasarjana Undana.

Minggu, 05 Juli 2015

Pidato Rektor pada Wisuda Magister, Profesi, dan Sarjana Undana Periode II pada Sabtu, 27 Juni 2015

Yth. Gubernur NTT yang diwakili oleh Staf Ahli Gubernur Bidang Politik dan Pemerintahan;
Yth. Danrem 161 Wirasatya yang diwakili oleh Pasi Intel Korem 161 Wirasatya;
Yth. Danlanud El Tari yang diwakili oleh Kasi BMN Logistik Lanud El Tari;
Yth. Kapolda NTT yang diwakili oleh Kasubdit Bimtimlu Ditbimas Polda NTT;
Yth. Ketua Pengadilan Tinggi Kupang yang diwakili oleh Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Kupang;
Yth. Ketua dan Wakil Ketua II Dharma Wanita Persatuan Undana;
Yth. Kedua Badan Narkotika Nasional Provinsi NTT;
Yth. Ketua APU Undana;
Yth. Perwakilan Bank mitra kerjasama;
Yth. Para orang tua/wali wisudawan/wisudawati;
Para wisudawan/wisudawati yang berbahagia.

Selamat pagi, assalamualaikum wr. wb., om swastiastu,
Wisuda merupakan saat yang membahagiakan bagi wisudawan/wisudawati dan tentu saja juga bagi para orang tua/wali dan para pendidik. Setelah melalui proses pendidikan yang panjang penuh dengan suka dan duka, hari ini para wisudawan/wisudawati hadir di sini untuk mengikuti Wisuda Periode II 2015. Sampai dengan wisuda kali ini, Undana telah menghasilkan 48.899 wisudawan/wisudawati, yang terdiri atas 973 magister, 42 profesi, dan 48.065 sarjana. Di antara para wisudawan/wisudawati terdapat 1.496 sarjana lulusan program afirmasi Sarjana Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan (SKGJ).

Hadirin yang saya muliakan,
Pada prosesi wisuda periode yang lalu, saya telah mengatakan bahwa dunia pendidikan tinggi harus terus mendorong upaya penguatan unsur kebudayaan nasional sebagai bagian dari struktur nilai kemanusian yang bersifat universal. Komitmen ini harus terus disuarakan, sekalipun secara struktur politik, kita telah terpisah dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.  Jika kita mengabaikan komponen kebudayaan nasional, khususnya karakter kebangsaan, maka dunia pendidikan tinggi sesungguhnya tidak membebaskan, tetapi malah membelenggu anak didik.  Pendidikan hanya akan menggiring anak didik ke dalam jebakan “mesin efisiensi global” dengan tujuan akhir “profit”, berorientasi pragmatis, kehilangan identitas kemanusiaan dengan berdiri sebagai warga global yang miskin akan nilai-nilai karakter kebangsaan dan kemanusiaan.

Pendidikan seharusnya memanusiakan manusia, bukan hanya menjadikan manusia sebagai sumberdaya. Untuk memanusiakan manusia diperlukan pendidikan yang membebaskan dari ketertindasan, bukan justeru menindas untuk menjadikan manusia sekedar mempunyai kompetensi keilmuan dan keterampilan untuk dipasarkan sebagai sumberdaya manusia (human resources). Sebagaimana dikatakan oleh Bapak Pendidikan Pembebasan Paulo Friere:
There is no such thing as a neutral education process. Education either functions as an instrument which is used to facilitate the integration of generations into the logic of the present system and bring about conformity to it, or it becomes the 'practice of freedom', the means by which men and women deal critically with reality and discover how to participate in the transformation of their world.
Adalah seharusnya menjadi tugas kita untuk menjadikan pendidikan sebagai ‘the practice of freedom’, pendidikan untuk membebaskan manusia. Tetapi dengan sistem yang dikembangkan sekarang, pendidikan justru didorong sekedar untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang berkompetensi akademik dan berketerampilan “to facilitate the integration of generations into the logic of the present system”, dan kehilangan jati diri kemanusiannya.

Muatan pendidikan karakter –humanities and art– cenderung dimarginalkan dalam struktur kurikulum pada sekolah dasar dan menengah bahkan lebih-lebih lagi pada struktur kurikulum pendidikan tinggi. Muatan pendidikan karakter tersebut cenderung dipandang oleh pembuat kebijakan sebagai hiasan yang kurang bermanfaat (useless frills), tidak bermanfaat dalam upaya untuk bertahan pada pasar global yang sangat kompetitif, dalam mendesign suatu generasi masa depan yang unggul. Muatan-muatan seperti ini seperti hilang dalam struktur kurikulum dunia pendidikan kita, dihapus dalam pemikiran dan bahkan (perasaan) hati para orang tua dan anak-anak.

Pendidikan yang memarginalkan pembangunan karakter tersebut tampak sangat jelas dari penempatan pendidikan karakter sekedar sebagai softskill, sebagai “keterampilan lunak” yang capaiannya diukur sekedar sebagai bagian dari capaian kompetensi akademik. Pendidikan yang hanya mengejar kompetensi akademik dan keterampilan, tanpa diimbangi dengan pembangunan karakter, cepat atau lambat akan menghilangkan sisi kemanusian dari manusia, mendorong anak didik dan pendidik untuk mengalami dehumanisasi. Pendidikan seperti ini telah kehilangan perannya sebagai apa yang Paulo Friere sebut “conscientization”, kesadaran untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan manusia secara sadar ("consciousness raising" and "critical consciousness").

Hadirin yang saya hormati,
Perkembangan dan kemajuan global saat ini menghadapi ancaman krisis dalam jangka panjang yang sangat berdampak terhadap masa depan demokrasi,  dan pemerintahan itu sendiri.  Bukan krisis ekonomi yang dampaknya telah dirasakan dan banyak pemerintah telah mengantisipasi strategi penanganannya, tapi  krisis yang saya maksudkan adalah krisis pendidikan yang sangat meluas. Perubahan radikal yang saya maksudkan adalah perubahan sistem pendidikan menjadi sistem yang lebih mengutamakan tujuan pencapaian profit dan manfaat ekonomi dalam bentuk sistem pendidikan nasional yang mendewakan aspek kompetensi akademik dan keterampilan penguasaan teknonlogi.

Padahal, bahkan ahli ekonomi yang menjunjung tinggi orientasi efisiensi dan tujuan pencapaian profit seperti John Stuart Mill (1967), memberikan pujian terhadap sistem pendidikan tinggi yang memberikan ruang dan kebebasan secara luas bagi pembangunan. Pemimpin spiritual Tibet, Dalai Lama, mengatakan bahwa ia berharap suatu hari nanti, dunia pendidikan akan memberikan ruang terhadap apa yang disebutnya sebagai “education of the heart”. Ia berharap pada waktunya nanti ada ruang di mana kita dapat menjamin bahwa anak-anak kita belajar-sebagai bagian dari kurikulum sekolah, nilai utama dari belas-kasihan, kepedulian, keadilan dan pengampunan (The Wisdom of Compassion, 2015).

Institusi pendidikan, mulai dari tingkat sekolah dasar sampai pada perguruan tinggi, seharusnya menciptakan atmosfer proses belajar mengajar yang membebaskan anak didik dari tekanan dan keterbelengguan.  Tekanan dan keterbelengguan karena struktur kurikulum yang sangat memberatkan, karena tuntutan uniformity, karena tuntutan target material satuan pelajaran, karena tuntutan tingginya beban tugas akhir dan sebagainya. Dunia pendidikan formal seharusnya dikembangkan ke arah di mana anak didik merasakan sekolah sebagai “rumah” kedua. Jangan heran, karena sistem pendidikan yang membelengu, di sejumlah kota besar telah banyak berkembang sistem pendidikan alternatif berupa “home schooling” bagi kelompok anak yang berasal dari keluarga yang mapan secara ekonomi. Selain itu juga berkembang sistem pendidikan non-formal yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat bagi anak-anak jalanan dan keluarga kurang mampu.

Semuanya ini terjadi karena masyarakat sesungguhnya membutuhkan suatu sistem pendidikan yang membebaskan, suatu sistem pendidikan yang lebih memanusiakan manusia. Suatu sistem pendidikan yang bisa membebaskan generasi muda dari kebodohan dan keterbelakangan, tapi pada saat yang sama juga membebaskan mereka dari tekanan dan keterbelengguan karena sistem pendidikan itu sendiri. Bahkan Milton Friedman pun pernah mengatakan:
A society that puts equality before freedom will get neither. But, a society that puts freedom before equality will get a high degree of both.
Dalam kaitan dengan hal ini, kita juga perlu mengkritisi Standard Nasional Pendidikan Tinggi 2014 dengan cengkraman beban SKS dan target penyelesaian tugas akhir termasuk publikasi journal ilmiah nasional/internasional yang terkesan dipaksa untuk dilaksanakan pada saat infrastruktur yang memungkinkan pencapaian standar dimaksud masih jauh dari kata “ideal”. Mahasiswa dipaksa untuk menanggung beban kegagalan sistem pendidikan tinggi yang selama ini ternyata kurang berhasil mendorong indeks sitasi internasional (international citation index) sehingga kita menjasi jauh tertinggal dari negara tetangga serumpun yang dahulu pernah mendatangkan guru dan dosen dari Indonesia.

Hadirin yang mulia,
Kebijakan nasional mengenai pendidikan formal, suka atau tidak, didesain dengan sejumlah kepentingan politik.  Kita boleh mencatat bahwa kebijakan nasional tentang pendidikan begitu mudah mengalami perubahan arah dan orientasi jangka panjang begitu terjadi perubahan politik di tingkat nasional. Cato Institute (2012), pada laman websitenya www.cato.org/eucation-wiki menyebutkan:
When government provides the schooling, questions of curriculum, pedagogy, morality are decided through the zero-sum political system. Since the system creates winners and losers, government too often pits citizens against each other.
Padahal sebelumnya kita sudah banyak berdiskusi panjang –menghabiskan waktu, tenaga, pikiran bahkan finansial– untuk mendesain pengembangan pendidikan nasional 25 tahun ke depan. Kebijakan pendidikan yang diwarnai kepentingan politik, yang menciptakan winners and losers, tentu saja tidak bisa membebaskan, tidak bisa menciptakan proses pembelajaran yang bisa membangun kesadaran untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan manusia secara sadar ("consciousness raising" and "critical consciousness")

Kebijakan pengembangan sistem pendidikan semacam ini mendorong orang untuk mengejar gelar akademik tanpa mempedulikan bagaimana gelar akademik itu diperoleh, alih-alih mempedulikan pembelajaran yang seharusnya menjadi jadi diri sebuah gelar akademik. Gelar akademik dipandang lebih sebagai titik akhir, bukan sebagai tonggak-tonggak antara dalam proses panjang pembelajaran. Oleh karena itu kita tidak perlu heran melihat orang mencantumkan gelar akademik berderet-deret. Kebutuhan untuk mencantumkan gelar berderet-deret seperti itulah, bukannya kebutuhan untuk membangun “conscientization”, yang pada akhirnya mendorong maraknya gelar akademik ilegal. Kita menjadi manusia yang merasa terdidik karena gelar akademik, bukannya gelar akademik menjadikan kita lebih terdidik (dan tahu diri). Pendidikan seperti ini menggiring orang menjadi merasa tahu dan menggunakan perasaan tahu itu sebagai ajang meraih kekuasaan yang mendominasi sekitarnya, bukan menerangi sekitarnya.

Karya akademik pun menjadi sekedar barang dagangan. Orang dapat memesan skripsi, tesis, dan bahkan disertasi. Orang mengejar publikasi internasional dengan membayar jasa penerjemah supaya bisa merasa berkualitas global tanpa perlu belajar bahasa internasional. Jasa penerbitan memanfaatkan ‘kebutuhan’ ini sebagai peluang pasar. Apakah nanti ada yang membaca apa yang diterbitkan, tidak lagi menjadi begitu penting. Sejauh mana penelitian dan publikasi yang dihasilkan bisa memanusiakan masyarakat, tidak lagi menjadi penting. Karena itu jangan tanyakan, sejauh mana penelitian dan publikasinya telah dapat membantu masyarakat mengatasi deraan berbagai persoalan.

Hadirin yang berbahagia,
Tentu saja kita tidak boleh menyerah. Karena bila kecenderungan ini kita biarkan terus terjadi maka kita sebenarnya sedang meragakan apa yang diprediksikan dengan sangat mengerikan oleh Rabindranath Tagore bahwa kita sedang memproduksi suatu generasi seperti mesin yang handal, dari pada sebagai warga bangsa yang mempunyai kemampuan berpikir bagi mereka sendiri serta memahami secara signifikan persoalan orang lain serta pencapaiannya. Kita tidak boleh membiarkan terjadi apa yang dikatakan oleh Martha Nussbaum (2011):
History has come to a stage when the moral man, the complete man, is more and more giving way, to make room for the ... commercial man, the man of limited purpose. This process, aided by the wonderful progress in science...causing the upset of man's moral balance...
Untuk itu kita tidak boleh hanya bisa menunggu sampai terjadinya perubahan kebijakan. Kita perlu melakukan perubahan di tengah-tengah sistem pendidikan yang membelenggu, yang “opressing”, sekecil apapun yang kita bisa lakukan. Di tengah-tengah cengkeraman beban SKS dan target penyelesaian tugas akhir kita coba tetap memberikan ruang terhadap pembinaan kegiatan kemahasiswaan sebagai ajang pendidikan karakter. Kita sikapi kewajiban publikasi internasional dengan menjalin kerjasama dengan universitas luar negeri untuk bersama-sama menghasilkan publikasi internasional. Kita jalin kerjasama kemitraan dengan universitas yang lebih berpengalaman untuk bisa saling bertukar pikiran mengenai upaya meningkatkan kualitas penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Apabila ini semua bisa kita lakukan bersama-sama, saya yakin kita bisa melakukan perubahan itu.

Hadirin yang saya hormati,
Dalam kesempatan yang baik dan bermartabat ini, perkenankan saya menyampaikan permohonan maaf kepada para wisudawan/wisudawati dan para orang tua/wali jika sekiranya selama menjalani proses pendidikan di Undana, wisudawan/wisudawati menngalami hal-hal yang kurang memuaskan sebagai akibat dari keterbatasan dan kekhilafan kami. Akhirnya, pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankan saya menyampaikan selamat kepada wisudawan/wisudawati, orang tua/wali, dan keluarga, semoga Tuhan kiranya berkenan menuntun wisudawan/wisudawati sekalian dalam memasuki medan perjuangan selanjutnya. Terima kasih.

Syalom, wassalamualaikum wr. wb., om santi, santi, santi, om.

Kupang, 27 Juni 2015
Rektor,
Prof. Ir. Fredrik Lukas Benu, MSi., PhD.


Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites