Prof. Andrew Campbel memulai kuliah tamunya dengan menyampaikan topik yang akan dibahas, yang antara lain meliputi keterkaitan antara pangan, air, lahan dan energi, konsep ketahanan jangka panjang dalam menghadapi perubahan iklim, dan kebutuhan dunia untuk meningkatkan ketahanan pangan, air, dan energi yang pada akhirnya memerlukan keterpaduan antara ilmu pengetahuan dan kebijakan untuk memungkinkan terwujudnya pembangunan berkelanjutan. Prof. Campbell menggarisbawahi keterpaduan antara ilmu pengetahuan dan kebijakan mengingat penanganan isu global perubahan iklim masih sangat dipengaruhi oleh kebijakan yang berbeda antar negara, terlepas dari fakta bahwa dari selueuh artikel jurnal yang dipublikasikan pada 1991-2012, misalnya, 13.950 artikel mendukung adanya perubahan iklim dan hanya 24 artikel yang menolak. Terlepas dari bukti ilmiah yang sangat kuat tersebut, Prof. Campbell menandaskan, ternyata masih banyak negara yang mengambil kebijakan yang belum pro penanganan perubahan iklim. Padahal, menurut Prof. Campbell, perubahan iklim mengancam bukan hanya negara kepulauan seperti Indonesia, tetapi juga negara benua seperti Australia.
Untuk memenuhi kebutuhan pangan dunia yang jumlah penduduknya terus meningkat, produksi pertanian perlu ditingkatkan sebesar 70% pada 2050 dari produksi sekarang. Untuk meningkatkan produksi pertanian diperlukan air dan lahan. "Kita sudah pernah melakukan ini di masa lalu", kata Prof. Cambell, "tetapi perubahan iklim dan menipisnya cadangan minyak bumi dunia merupakan tantangan bagi kita semua untuk bisa mengulangi hal yang sama ke depan". Untuk memproduksi setiap kalori bahan pangan diperlukan 1 liter air tawar, padahal menurut IWMI Comprehensive Assessment of Water Management in Agriculture,70% cadangan air tawar dunia sudah digunakan sehingga ketersediaan air tawar untuk produksi pertanian akan terus menurun dari tahun ke tahun. Hal yang sama juga terjadi pada lahan, degradasi lahan yang terus meningkat akan membatasi ketersediaan lahan untuk meningkatkan produksi pangan. Prof. Campbell mengutip laporan FAO mengenai kecenderungan degradasi lahan yang menyatakan bahwa lebih dari 20% lahan budidaya, 30% lahan hutan, dan 10% lahan padang rumput telah terdegradasi. Pada saat yang sama, perubahan iklim juga berdampak terhadap keanekaragaman hayati, baik keanekaragaman hayati alami maupun keanekaragaman hayati budidaya, yang juga merupakan penopang utama ketahanan pangan.
Untuk menghadapi itu semua, kata Prof. Campbell, diperlukan kebijakan untuk tidak memisahkan pembangunan ekonomi dari emisi karbon. Kebijakan perlu didasarkan atas bukti ilmiah yang independen, bukan hanya atas bukti yang dibuat sendiri oleh pemerintah melalui lembaga yang didirikan untuk tujuan tersebut. Dalam kaitan dengan itu universitas perlu bekerjasama dengan universitas lain dan lembaga pemerintah perlu membuka pintu kerjasama dengan universitas. "Evidence-based policy bukanlah kebijakan yang didasarkan atas data yang sengaja diproduksi sendiri", tandas Prof. Cambell, "melainkan atas data pihak lain yang telah mengalami proses peer review". Hanya dengan cara membuka pintu kerjasama dengan universitas dan institusi penelitian maka pemerintah bisa mengambil kebijakan pembangunan yang benar-benar berkelanjutan, katanya melanjutkan. Pada pihak lain, universitas dan institusi penelitian juga perlu melakukan pendekatan dengan instansi pemerintah untuk mendorong terjadinya perubahan dari dalam lembaga pemerintah sendiri.
Prof. Andrew Campbell mencontohkan institusi penelitian yang dipimpinnya, Research Institute for the Environment and Livelihoods (RIEL), dalam upaya untuk mendekatkan ilmu pengetahuan dan kebijakan guna semakin mendorong pengambilan kebijakan yang semakin pro pembangunan berkelanjutan. Untuk itu RIEL dikembangkan sebagai institusi penelitian lintas disiplin yang saat ini mempekerjakan 50 peneliti, 6 tenaga administrasi, 14 teknisi, dan 75 mahasiswa S3 dalam berbagai bidang ilmu untuk melakukan penelitian dalam bidang-bidang penghidupan berbasis sumberdaya alam, ekologi dan pengelolaan pesisir dan laut, ekologi dan pengelolaan perairan tawar, serta pengelolaan savana dan konservasi kehidupan liar. RIEL mengkoordinasikan pusat-pusat, yang terdiri atas Center for Renewable Energy, Darwin Centre for Bushfire Research, Environmental Chemistry and Microbiology Unit, North Australian Biodiversity NERP Hub, dan North Australian Marine Research Alliance. Saat ini RIEL mengoperasikan anggaran sekitar A$ 10 milyar per tahun, mempublikasikan 200 artikel dalam jurnal ilmiah peer review per tahun, dan menduduki peringkat 4 di antara institusi sejenis lainnya di Australia.
RIEL telah bekerjasama dalam banyak bidang dengan Undana sebagai bagian dari upaya untuk memfokuskan diri meningkatkan kerjasama sub-regional Australia Utara, Asia Tenggara, dan Pasifik. Ke depan, RIEL akan berupaya untuk meningkatkan kerjasama dalam penelitian mengenai karbon biru (blue carbon), ketahanan pangan (food security), dan tatakelola (governance) dalam kerangka keterkaitan antara ilmu pengetahuan dan kebijakan. "Undana tentu saja akan menjadi mitra kerjasama yang penting", tandas Prof. Campbell, "untuk bersama-sama membangun jejaring pertukaran mahasiswa dan dosen, membangun kurikulum bersama dalam bidang ilmu lingkungan, dan mengembangkan program penelitian bersama dalam bidang-bidang pengelolaan DAS dan sistem irigasi lahan kering, konservasi hutan dan pilihan pengembangan agroforestry, ketahanan pangan dalam menghadapi iklim yang berubah, pengelolaan api dan ketahanan menghadapi bencana, perencanaan wilayah berbasis SIG, pengembangan pilihan penghidupan yang berkelanjutan, pengembangan tatakelola pengelolaan sumberdaya alam, dan pengembangan sumber energi terbarukan". "Eastern Indonesia and Northern Australia have shared interests, and UNDANA and CDU have much to gain from working together. Now is the time to show leadership at all levels. Let's take the opportunity", kata Prof. Cambel menutup paparan kuliah umumnya.
Kuliah tamu diakhir dengan sesi diskusi yang dipandu langsung oleh Rektor Undana Prof. Fred Benu. Minat mahasiswa untuk menyampaikan pertanyaan cukup tinggi, tetapi waktu yang tersedia terbatas sehingga Prof. Cambell hanya dapat menanggapi beberapa pertanyaan, di antaranya pertanyaan mengenai masalah pencemaran Laut Timor. Menjawab pertanyaan mengenai hal tersebut, Prof. Cambell kembali menandaskan pentingnya keterkaitan antara ilmu pengetahuan dan kebijakan dan perlunya peningkatan kerjasama antara Australia Utara dan Indonesia bagian Timur. Acara kuliah tamu diakhiri dengan jamuan makan malam yang diadakan oleh Program Pascasarjana Undana dengan dihadiri oleh Asisten Direktur I Bidang Akademik Prof. Jimmy Pello dan Asisten Direktur Bidang Administrasi dan Keuangan Dr. Jauhari Effendi. Direktur Program Pascasarjana Prof. Alo Liliweri berhalangan hadir karena mengikuti pertemuan Forum Direktur Pascasarjana di Palu, Sulawesi Tenggara, sedangkan Asisten Direktur III Bidang Kerjasama tidak menghadiri kegiatan kuliah umum maupun jamuan makan malam dengan alasan sedang sibuk dengan urusan lain. Sebelum meninggalkan Kupang pada 27 Mei 2015 siang, Prof. Andrew Cambell sempat berkeliling kampus dan Kota Kupang dengan diantar sendiri oleh PR IV Undana Ir. I Wayan Mudita, M.Sc., Ph.D.