Kampus yang tertata dengan baik pada umumnya meletakkan bangunannya dalam kelompok (cluster). Bangunan-bangunan untuk kepentingan pelayanan seluruh universitas seperti gedung rektorat, gedung kelembagaan dan pusat-pusatnya, perpustakaan, laboratorium penelitian, dsb. pada umumnya diletakkan di tengah. Bangunan untuk kepentingan sarana umum seperti stadion, auditorium, dan pusat informasi diletakkan di depan. Gedung-gedung fakultas dikelompokkan sesuai dengan bisang ilmu, misalnya kelompok ilmu-ilmu pertanian, kelompok ilmu-ilmu kesehatan, kelompok ilmu-ilmu ekonomi dan sosial, kelompok keguruan dan ilmu pendidikan dan kelompok ilmu hukum dan budaya, ditempatkan mengelilingi. Dengan penempatan gedung dalam kelompok-kelompok seperti itu maka akan tersedia lebih banyak ruang terbuka hijau. Pun dengan penempatan gedung dalam kelompok-kelompok seperti itu akan dapat dihemat biaya pembangunan infrastruktur jalan, listrik, dan jaringan komunikasi.
Namun penataan ruang kampus Undana memang sejak awal sudah kacau. Gedung rektorat memang sudah ditempatkan di tengah-tengah kampus. Tetapi gedung fakultas-fakultas diletakkan tersebar sangat berjauhan. Bahkan gedung fakultas-fakultas yang memerlukan laboratorium pembelajaran seperti Fakultas Pertanian, Fakultas Peternakan, dan Fakultas Sains dan Teknik ditempatkan pada bagian lahan yang tinggi sehingga kesulitan memperoleh air untuk kebutuhan laboratorium. Gedung untuk kepentingan pelayanan seluruh fakultas seperti perpustakaan, lembaga-lembaga, UPT komputer dan UPT kebahasaan yang seharusnya diletakkan dalam satu kelompok dengan gedung rektorat, justeru diletakkan menyelip di antara gedung-gedung fakultas. Dan lebih ironis lagi, di bagian depan kampus justru dibangun RSS dosen. Tata ruang awal kampus yang sudah kacau tersebut dibuat semakin kacat dalam 8 tahun terakhir ketika banyak bangunan bergaya pertokoan dibangun tanpa memperhatikan tata ruang. Semakin sempurnalah sudah kacaunya tata ruang kampus Undana.
Gedung baru rektorat yang ditempatkan di bagian depan kampus di pinggir jalan raya sungguh sangat menyalahi tata ruang. Pada lokasi tersebut sebelumnya sudah ditanam sebanyak 200-an cendana yang kemudian ditimbun begitu saja, untuk membangun gedung rektorat yang 'mejeng' di pinggir jalan tersebut. Letak gedung rektorat baru tersebut sungguh sangat tidak sesuai dengan pintu gergang kampus yang tetaknya di samping. Dari segi gaya arsitekturnya, gedung baru rektorat tersebut lebih mirip dengan pertokoan daripada dengan gedung institusi pendidikan. Demikian juga dengan gaya arsitektur gedung-gedung fakultas yang dibangun bersamaan dengan pembangunan gedung rektorat tersebut, semuanya dengan gaya arsitektur pertokoan. Ruang-ruang perkuliahan dengan jendela kaca rendah dan tertutup rapat menjadikan ruang kuliah sangat panas dan terganggu oleh suasana di luar ruang kuliah. Tidak satupun gedung dibangun dengan gaya arsitektur lokal. Memang tampak modern dan mengglobal, tetapi kehilangan jati diri sebagai universitas yang berlokasi di kawasan lahan kering.
Juga menjadi masalah adalah tidak adanya rambu-rambu penunjuk arah di kawasan kampus yang sedemikian luas dan dengan lokasi gedung-gedung yang sedemikian berserakan. Jalan-jalan di dalam kampus tidak mempunyai nama. Akibatnya, tamu, khususnya tamu dari luar kota, sering tersesat dalam kampus. Di banyak kampus, di dekat gerbang utamanya biasanya tersedia peta kampus disertai dengan penunjuk arah. Kemudian di setiap persimpangan jalan juga ditempatkan peta yang disertai dengan rambu-rambu penunjuk arah. Tidak demikian halnya di kampus Undana sehingga untuk sampai ke fakultas atau gedung tertentu, tamu dari luar harus bertanya beberapa kali sebelum sampai ke fakultas atau gedung yang dituju. Hal ini sungguh menjadi sangat ironis mengingat kampus yang sekarang ini sudah ditempati sejak akhir 1980-an. Dan pembangunan gedung-gedung baru begitu gencar dilakukan selama beberapa tahun terakhir tanpa memperhatikan pembangunan lingkungan kampus secara keseluruhan.
Mengenai penataan ruang terbuka hijau bahkan lebih parah. Saat ini ruang terbuka hijau kampus didominasi oleh pohon gamal yang pada awalnya ditanam untuk memperbaiki kondisi mikro lahan yang didominasi oleh batu karang. Bukannya setelah kondisi mikro lahan menjadi lebih baik pohon gamal kemudian ditebang dan diganti dengan jenis-jenis pohon lain, melainkan justru dibiarkan tumbuh menjadi besar. Di sekitar gedung rektorat baru dan pintu gerbang, demikian juga di beberapa fakultas, mnemang telah dibuat taman. Tetapi sebagaimana halnya gedung yang dibangun dalam beberapa tahun terakhir, taman-taman juga dibangun dengan gaya yang sangat tidak membumi. Alih-alih menanam jenis-jenis tanaman hias tahan kering, yang ditanam justru jenis-jenis tanaman hias introduksi yang untuk memeliharanya memerlukan penyiraman terus menerus. Selain biaya pemeliharaannya sangat mahal, pembangunan taman-taman seperti itu sungguh tidak menyatu dengan lingkungan setempat, menjadikan kampus terasa asing di lingkungannya sendiri.
Rektor menerima dengan baik masukan yang disampaikan oleh ketiga dosen. Rektor mengakui bahwa selama ini tata ruang kampus kurang mendapat perhatian. Namun Rektor mengakui dengan tata ruang kampus yang sudah sedemikian kacau, tidaklah mudah untuk menatanya kembali. Rektor menyampaikan bahwa prioritas utamanya adalah menghapuskan seluruh bangunan RSS dan mengubahnya menjadi kawasan hutan arboretum. Rektor juga menyampaikan kerjasama yang telah dan akan dilakukan untuk membangun tata ruang kampus. Di antaranya, disampaikan kerjasama dengan Pemerintah Provinsi NTT untuk pembangunan embung, sumur bor, dan pengaspalan jalan kampus. Untuk pertamanan, Rektor menyetujui untuk lebih memprioritaskan penanaman jenis-jenis tumbuhan lokal daripada menanam jenis-jenis tanaman hias introduksi. Mengenai jenis-jenis pohon yang ditanam pada kawasan ruang terbuka hijau, Rektor memprioritaskan penanaman cendana di bagian depan stadion. Rektor telah meminta agar anggaran untuk pembangunan taman dialihkan untuk pembangunan arboretum cendana dan penanaman jenis-jenis pohon lokal tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar