Di lokasi sudah menunggu Ketua Lembaga Penelitian (Lemlit) Undana, Prof. Mien Ratoe Oedjoe, disampingi oleh Sekretaris Lemlit, Dr. Mchael Riwu Kaho, yang juga adalah Ketua Forum DAS NTT. Tampak juga hadir Ketua Lembaga Pengabdian pada Masyarakat (LPM) Undana, Asdir I Program Pascasarjana (PPs), beberapa Kepala Pusat Penelitian dan Kepala Pusat dalam lingkungan LPM. Semula saya menduga sudah hadir anggota masyarakat, tetapi ternyata hanya seorang tokoh masyarakat didampingi oleh Sdr. Nahum Mokos, pegawai PPLHSA Undana yang sebelum pensiun ditugaskan untuk menjaga kawasan hutan penelitian ini. Sekretaris Lemlit kemudian menjelaskan mengenai sejarah kawasan hutan Ikan Foti dan rencana untuk mengurus legalitasnya sebagai kawasan hutan dengan tujuan khusus. Menurut Sekretaris Lemlit, kawasan hutan pernah diserahkan kepada Undana pada 1983 tetapi tidak disertai dengan bukti legal dan sejak akhir 1980-an tidak pernah dikelola oleh Undana sehingga agar dapat dikelola kembali maka perlu dilakukan pengurusan kembali.
Kawasan hutan ini sebenarnya tidak ditinggalkan pengelolaannya oleh Undana, setidak-tidaknya sampai akhir masa jabatan saya di PPLHSA Undana pada 2003. PPLHSA Undana ketika itu melakukan pemagaran kawasan dan secara rutin melakukan pengamatan vegetasi secara rutin. Laporan hasil pemantauan disimpan di perpustakaan penelitian PPLHSA Undana. Pengamatan vegetasi terutama dilakukan terhadap berbagai kultivar lamtoro introduksi dan jenis-jenis pohon lokal yang ditanam ketika kawasan tersebut mulai dibangun dengan bantuan dana hibah dari Ford Foundation, ketika PPLHSA, pada awalnya bernama Pusat Studi Lingkungan (PSL), pada masa kepemimpinan H. Ataupah, MA. Ketika H. Ataupah melanjutkan studi S3 di UI, pengelolaan kawasan dilanjutkan oleh Kepala PSL berikutnya, Drs. Boetje Patty dan kemudian kembali oleh Dr. H. Ataupah (1, 2), sebelum dilanjutkan oleh Kepala PPLHSA sebelum saya, Ir. B.C. Conterius, MS. Dosen Undana yang terlibat banyak sejak awal pengembangan kawasan hutan Ikan Foti dan juga hadir adalah Ir. Welhelmus Mella, M.Sc., Ph.D., kini Ketua Program Studi Ilmu Lingkungan di PPs Undana.
Sekretaris Lemlit melanjutkan penjelasannya, disertai dengan menampilkan peta, untuk menunjukkan bahwa kawasan hutan Ikan Foti merupakan bagian hulu dari DAS Manikin sehingga sangat penting untuk dilestarikan. Setelah penjelasan oleh Sekretaris Lemlit, Rektor diberikan kesempatan untuk berbicara dengan tokoh adat. Rektor menjelaskan bahwa pengelolaan kawasan oleh Undana bukan berarti Undana memiliki kawasan tersebut. Undana hanya akan mengembangkan kawasan tersebut, sedangkan pemanfaatannya tetap dapat dilakukan sebagaimana yang telah dilakukan sekarang. Manfaat utama kawasan bagi masyarakat sampai saat ini adalah sebagai sumber pakan karena di dalam kawasan terdapat berbagai kultivar lamtoro (Leucaena leucocephala) yang hijauannya merupakan pakan utama sapi yang dipelihara oleh masyarakat sekitar. Tokoh masyarakat meminta Sdr. Nahum Mokos untuk mewakilinya berbicara dan menurut yang bersangkutan, masyarakat sangat senang bila Undana melanjutkan pengelolaan kawasan hutan ini.
Ketika terjadi ledakan kutu loncat lamtoro (Heteropsylla cubana) pada 1985/1986, lamtoro yang ditanam di dalam kawasan menjadi lokasi pelepasan kumbang predator Curinus coeruleus sebagai bagian dari upaya pengendalian hama terpadu (PHT) terhadap hama tersebut. Ketika itu kutu loncat lamtoro ditetapkan sebagai bencana mengingat peranan strategis lamtoro sebagai sumber pakan ternak sapi. Pengendalian kutu loncat lamtoro mula-mula dilakukan dengan melakukan penyemprotan insektisida dari udara, pengolesan insektisida pada batang lamtoro setelah ditakik, dan pemangkasan lamtoro, tetapi semuanya tidak berhasil. Pada mulanya kumbang predator yang diintroduksi dari Hawaii tersebut sempat mapan selama beberapa saat, tetapi entah mengapa kemudian saya tidak menemukannya kembali. Saya menemukannya kembali di dekat Soe pada Juli 2014, ketika mengantar mahasiswa peserta EIFI melakukan kegiatan lapangan di kawasan hutan Buat dan di Desa Linamnutu.
Sambil menunggu tokoh pemerintahan desa hadir, Rektor memutuskan melakukan peninjauan menuju pondok yang dahulu dibangun pada awal pengelolaan kawasan dilakukan oleh Undana. Pondok tersebut masih ada sampai ketika saya menjabat Kepala PPLHSA Undana, tetapi kemudian roboh termakan usia. Upaya untuk melakukan rehabilitasi atau membangun pondok baru tidak bisa dilakukan karena terbentur pada status hak atas kawasan, yang penyerahannya kepada Undana tidak disertai dengan surat-surat. Pun pengurusan surat-surat pada saat saya menjabat Kepala PPLHSA Undana tidak dapat dilakukan karena perundang-undangan yang memungkinkan penyerahan kawasan hutan untuk dikelola sebagai kawasan dengan tujuan khusus belum ada. Alhasil, ketika saya mengakhiri jabatan sebagai Kepala PPLHSA, status kepemilikan kawasan oleh Undana tetap tidak jelas.
Di dalam kawasan kami menemukan lamtoro yang batangnya sudah berukuran sangat besar. Dahulu lamtoro ditanam dalam larikan, tetapi larikan tersebut kini tidak lagi tampak jelas karena banyak pohon yang sudah mati karena ditebang untuk pengambilan hijauan bahan pakan dan ditebang untuk bahan kayu bakar. Betapa pun, masih tersisanya tegakan lamtoro menunjukkan bahwa kawasan hutan ini masih dikelola, setidak-tidaknya sampai tahun-tahun pertama setelah reformasi 1998, ketika pada saat itu perambahan hutan oleh masyarakat terjadi di mana-mana. Pada saat itu, masyarakat di desa-desa sekitar kawasan pernah mengklaim kawasan untuk dibuka sebagai kawasan perladangan tebas bakar. Kawasan hutan dapat diselamatkan setelah saya dibantu oleh Dr. H. Ataupah melakukan pendekatan terus menerus kepada masyarakat sekitar kawasan. Pendekatan dilakukan untuk menjelaskan manfaat yang dapat diperoleh bila kawasan tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan, dibandingkan dengan bila dibuka untuk perladangan.
Di dalam kawasan dahulu banyak terdapat pohon kayu merah (Pterocarpus indicus), yang dalam bahasa setempat disebut matani. Di bagian bawah, mendekati sungai, terdapat kawasan yang ditumbuhi rapat oleh bambu duri (Bambusa blumeana). Matani sudah sulit ditemukan, tetapi bambu duri tetap tumbuh rapat. Di sana-sini terdapat perdu yang dalam bahasa setempat disebut kayu ular (Strychnos lucida), yang kayunya berasa sangat pahit, oleh masyarakat digunakan sebagai obat malaria. Masih terdapat banyak pohon asam (Tamarindus indica), yang bersama-sama dengan matani, kayu ular, dan kapuk hutan (Bombax ceiba) merupakan pohon penciri hutan dataran rendah kering di Timor Barat. Sebagian dari pohon asam tersebut adalah pohon yang dahulu bijinya ditebar oleh Dr. H. Ataupah, baik ketika beliau masih menjabat Kepala PSL Undana maupun setelah itu. Bahkan sampai beberapa bulan sebelum meninggal pada Juni 2013, beliau bercerita kepada saya, beliau pergi ke sana untuk menebar biji asam.
Sekembali dari melakukan peninjauan, Rektor kembali memaparkan rencana Undana untuk kembali mengelola kawasan hutan tersebut, kali ini dengan dihadiri oleh Ketua RW dan Ketua RT dari Desa Niukbaun. Kepala Desa dari desa-desa sekitar kawasan tidak ada yang hadir. Ketua RW yang berbicara mewakili masyarakat menyampaikan bahwa pada dasarnya masyarakat tidak berkeberatan bila kawasan sikelola kembali oleh Undana, sepanjang masyarakat tetap dapat memperoleh manfaat. Rektor menyampaikan terima kasih atas penerimaan dan dukungan yang telah diberikan oleh masyarakat selama ini. Acara diakhiri dengan makan siang bersama sebelum kemudian Rektor pamit untuk menghadiri acara lain di Kupang.
0 komentar:
Posting Komentar